ILMU BUDAYA DASAR
Sebelum
kita membahas lebih lanjut tentang plagiarisme ada baiknya kita ketahui
terlebih dahulu apa pengertian dari plagiarisme. Plagiarisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ialah penjiplakan
yang melanggar hak cipta, yaitu hak seseorang atas hasil penemuannya yang
dilindungi oleh undang-undang. Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat
dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan atau pendapat sendiri,
misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri. Orang
yang melakukan plagiat disebut plagiator atau penjiplak. Dengan merujuk pada
pengertian-pengertian di atas, maka sebenarnya hamper setiap hari kita
menyaksikan plagiarisme, plagiat dan plagiator, baik yang sengaja maupun yang
tidak. Para “pakar” dalam berbagai bidang ini tidak jarang melontarkan pendapat
yang sebenarnya merupakan hasil penelitian atau pendapat orang lain sebelumnya
untuk menganalisis atau menjelaskan suatu topik aktual di bidang tertentu. Pada
umumnya mereka enggan menjelaskan bahwa analisis atau pendapat itu berasal dari
orang lain, dan mereka hanya sekadar mengulangi atau meminjam pendapat
tersebut.
Definisi plagiarisme di atas, kiranya sudah
mendapat kesepakatan dari masyarakat akademis di seluruh dunia, baik masyarakat
akademis di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, maupun di
negara berkembang seperti Indonesia. Selama ini, AS merupakan negara yang
sangat ketat terhadap plagiarisme. Para plagiator akan dikenakan sanksi yang
setimpal dengan perbuatannya. Kalau ada mahasiswa atau dosen yang melakukan
plagiarisme, maka dirinya harus siap dikeluarkan dari sekolah atau
universitasnya. Tanpa moralitas yang baik, maka dunia akademik akan kehilangan
wajah pentingnya yaitu kejujuran.
Di Indonesia
pernah dinyatakan telah terjadi inflasi ijazah Apa yang tertulis di sertifikat,
diploma, atau ijazah tidak selalu mencerminkan kemampuan pribadi pemegangnya.
Dalam konteks ini, upaya untuk memerangi plagiarisme akademis merupakan upaya
urgen. Niat untuk meningkatkan kuantitas sarjana, atau bahkan kuantitas guru
besar tak perlu ditinggalkan, hanya perlu dilengkapi dengan upaya konkret untuk
meningkatkan kualitas. Pada kenyataannya, argumentasi dalam sebuah proposisi
keilmuan memang tidak bisa dikelabui karena bisa diuji melalui ilmu logika.
Tetapi proses pemunculan argumentasi itu tidak sulit untuk dimanipulasi. Karena
itu, sikap ilmuwan terhadap kebenaran ilmiah jelas membutuhkan tolok ukur lain
yang menyangkut kejujuran, moralitas, dan integritas keilmuan seseorang. Benar
bahwa masalah kejujuran memang berpulang kepada yang bersangkutan. Kejujuran
hanya bisa dinilai oleh mereka yang berhadapan dengan masalah itu. Merekalah
yang tahu, apakah mereka menyerahkan sebuah pertanggungjawaban akademik atau
tidak. Para guru seharusnya jujur karena mereka mengawasi tindakan moralitas
para anak didiknya. Dosen seharusnya juga jujur, karena dirinya berhadapan
dengan sistem pertanggungjawaban akademik yang menginginkan adanya kejujuran. Kasus
plagiarisme di kampus dan sekolah-sekolah harus segera diselesaikan. Apalagi
figur pendidik selama ini dikenal mulia hingga digelari pahlawan tanpa tanda
jasa.
Jadi menurut saya bahwa plagiarisme itu sangat tidak
baik untuk ditiru atau dicontoh karena plagiarisme merupakan sebuah kasus atau
tindak kejahatan seseorang karena telah menjiplak hasil karya orang lain yang
telah di hak cipta. Sebaiknya hal seperti ini cepat diatasi agar plagiarisme tidak
semakin merajalele, sehingga bangsa kita ini bisa berbangga bahwa kejujuran
selalu diutamakan dalam hal apapun. Selain itu plagiarisme sangat merugikan
bagi orang lain dan Negara karena telah melakukan kebohongan publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar