Minggu, 18 Desember 2011

Plagiarisme dalam Hegemoni Kultur Akademi

ILMU BUDAYA DASAR
 
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang plagiarisme ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu apa pengertian dari plagiarisme. Plagiarisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ialah penjiplakan yang melanggar hak cipta, yaitu hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang. Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan atau pendapat sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri. Orang yang melakukan plagiat disebut plagiator atau penjiplak. Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebenarnya hamper setiap hari kita menyaksikan plagiarisme, plagiat dan plagiator, baik yang sengaja maupun yang tidak. Para “pakar” dalam berbagai bidang ini tidak jarang melontarkan pendapat yang sebenarnya merupakan hasil penelitian atau pendapat orang lain sebelumnya untuk menganalisis atau menjelaskan suatu topik aktual di bidang tertentu. Pada umumnya mereka enggan menjelaskan bahwa analisis atau pendapat itu berasal dari orang lain, dan mereka hanya sekadar mengulangi atau meminjam pendapat tersebut.

Definisi plagiarisme di atas, kiranya sudah mendapat kesepakatan dari masyarakat akademis di seluruh dunia, baik masyarakat akademis di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Selama ini, AS merupakan negara yang sangat ketat terhadap plagiarisme. Para plagiator akan dikenakan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Kalau ada mahasiswa atau dosen yang melakukan plagiarisme, maka dirinya harus siap dikeluarkan dari sekolah atau universitasnya. Tanpa moralitas yang baik, maka dunia akademik akan kehilangan wajah pentingnya yaitu kejujuran.

 Di Indonesia pernah dinyatakan telah terjadi inflasi ijazah Apa yang tertulis di sertifikat, diploma, atau ijazah tidak selalu mencerminkan kemampuan pribadi pemegangnya. Dalam konteks ini, upaya untuk memerangi plagiarisme akademis merupakan upaya urgen. Niat untuk meningkatkan kuantitas sarjana, atau bahkan kuantitas guru besar tak perlu ditinggalkan, hanya perlu dilengkapi dengan upaya konkret untuk meningkatkan kualitas. Pada kenyataannya, argumentasi dalam sebuah proposisi keilmuan memang tidak bisa dikelabui karena bisa diuji melalui ilmu logika. Tetapi proses pemunculan argumentasi itu tidak sulit untuk dimanipulasi. Karena itu, sikap ilmuwan terhadap kebenaran ilmiah jelas membutuhkan tolok ukur lain yang menyangkut kejujuran, moralitas, dan integritas keilmuan seseorang. Benar bahwa masalah kejujuran memang berpulang kepada yang bersangkutan. Kejujuran hanya bisa dinilai oleh mereka yang berhadapan dengan masalah itu. Merekalah yang tahu, apakah mereka menyerahkan sebuah pertanggungjawaban akademik atau tidak. Para guru seharusnya jujur karena mereka mengawasi tindakan moralitas para anak didiknya. Dosen seharusnya juga jujur, karena dirinya berhadapan dengan sistem pertanggungjawaban akademik yang menginginkan adanya kejujuran. Kasus plagiarisme di kampus dan sekolah-sekolah harus segera diselesaikan. Apalagi figur pendidik selama ini dikenal mulia hingga digelari pahlawan tanpa tanda jasa.

Jadi menurut saya bahwa plagiarisme itu sangat tidak baik untuk ditiru atau dicontoh karena plagiarisme merupakan sebuah kasus atau tindak kejahatan seseorang karena telah menjiplak hasil karya orang lain yang telah di hak cipta. Sebaiknya hal seperti ini cepat diatasi agar plagiarisme tidak semakin merajalele, sehingga bangsa kita ini bisa berbangga bahwa kejujuran selalu diutamakan dalam hal apapun. Selain itu plagiarisme sangat merugikan bagi orang lain dan Negara karena telah melakukan kebohongan publik.
 

Minggu, 20 November 2011

PERANAN BUDAYA TERHADAP PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Ilmu Budaya Dasar

 
Peranan budaya terhadap penegakan hukum di Indonesia pada saat ini masih tidak stabil dan masih kacau. Hal ini dikarenakan masih banyak pihak-pihak yang menyalahgunakan penegakan hukum itu sendiri, sehingga peranan budaya menjadi tidak penting untuk menegakkan hukum di Indonesia. Memang sangat menyedihkan bagi kita warga negara Indonesia mendengar bahwa penegakan hukum di Indonesia belum bisa dilaksanakan secara maksimal. 

Penegakan hukum itu sangat dipengaruhi oleh adanya aspek kultural/budaya. Hal ini dirasakan cukup penting sekali untuk diketahui baik oleh pembaca maupun oleh pihak Kepolisian sendiri mengapa dalam proses ini kerap sekali terjadi pelanggaran-pelangaran. Sehingga kedepannya agar semua yang menjadi kelemahan-kelemahan dalam proses ini dapat diperbaiki,  kemudian menggantinya dengan paradigma yang baru sesuai dengan momentum kemandirian lembaga Kepolisian menjadi suatu lembaga yang “bersih” dan “profesional” dalam pengertian tidak hanya individu nya melainkan juga organisasinya.

Mengacu kepada aspek budaya/legal culture,  bekerjanya suatu sistem hukum dalam masyarakat (law in action), maka tidak akan terlepas adanya pengaruh dari aspek nilai dan sikap, yang memberi pemahaman tentang bekerjanya sistem hukum itu.   Mengacu kepada pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1981:33)  maka menurut penulis ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi sikap dan nilai para fungsionaris hukum (aparat hukum) termasuklah dalam hal ini Kepolisian  dalam menjalankan kewenanganya.

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa     manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
Dalam hal ini akan lebih dijelaskan tentang faktor kebudayaannya. Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut :
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Budaya penegakan hukum di Indonesia masih mengutamakan uang bukan keadilan itu sendiri. Dengan hal ini akan semakin jelas bahwa Indonesia tidak akan lepas dari kejahatan korupsi, dan para koruptor pun akan semakin banyak yang seharusnya semakin ke depan koruptor semakin tidak ada. Budaya seperti ini seharusnya dihilangkan mulai dari sekarang dan dari diri sendiri. Karena kalau tidak penegakan hukum di Indonesia akan semakin memburuk dan semakin kacau.


 








Minggu, 30 Oktober 2011

MANAJEMEN SUKSES DENGAN EFISIEN DAN EFEKTIF
TUGAS PENGANTAR BISNIS


Manajemen sukses dengan efisien dan efektif dalam pengolahan kayu, pengolahan efisiensi dan efektifitasnya adalah sebagai berikut :


EFISIENSI                                       EFEKTIFITAS
         
Kayu                                                  Kursi
                                                           Meja belajar
                                                           Lemari
                                                           Kertas 
                                                           Tisu
                                                            

Kayu adalah bagian batang atau cabang serta ranting tumbuhan yang mengeras karena mengalami lignifikasi atau pengayuan. Kayu digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari memasak, membuat parabot, bahan bangunan, bahan kertas, tisu, dan banyak lagi. Kayu juga dapat dimanfaatkan sebagai hiasan rumah tangga dan sebagainya. Penyebab terbentuknya kayu adalah akibat akumulasi selulosa dan lignin pada dinding sel berbagai jaringan di batang. 

Secara efektifitas kayu dapat dimanfaatkan sebagain alat-alat furniture seperti : kursi, tempat tidur, meja, lemari, dan masih banyak lagi. Lalu biasanya dari bahan yang sudah jadi itu, kayu meninggalkan sisa-sisa kayu yang tidak terpakai. Dan dari sisa kayu itulah bisa dimanfaatkan untuk dijadikan tisu. Selain tidak menambah banyaknya limbah, pemanfaatan kayu menjadi tisu juga bisa mendatangkan keuntungan.

Sisa-sisa dari kayu yang telah menjadi furniture selain bisa dimanfaatkan menjadi tisu, bisa dimanfaatkan juga menjadi kertas. Sekarang ini kertas seringkali dibutuhkan dalam aktifitas apapun, seperti : menulis, menggambar, membaca, ataupun dijadikan sebagai pembungkus gorengan. Dari pemanfaatan seperti ini, akan sangat mengurangi adanya limbah. Disini juga akan dijelaskan bagaimana proses pembuatan kertas dari kayu.
Proses pembuatan kertas dari kayu :
  1. Kayu diambil dari hutan produksi kemudian dipotong-potong atau lebih dikenal dengan log. Log disimpan ditempat penampungan beberapa bulan sebelum diolah dengan tujuan untuk melunakan log dan menjaga kesinambungan bahan baku.
  2. Kayu dibuang kulitnya dengan mesin.
  3. Kayu dipotong-potong menjadi ukuran kecil (chip) dengan mesin chipping. Chip yang sesuai ukuran diambil dan yang tidak sesuai diproses ulang.
  4. Chip dimasak didalam digester untuk memisahkan serat kayu, bahan yang digunakan untuk membuat kertas dengan lignin. Pulp ini yang diolah menjadi kertas pada mesin kertas.
  5. Sebelum masuk ke areal paper machine pulp diolah dulu pada bagian stock preparation. Bagian ini berfungsi untuk meramu bahan baku seperti : menambahkan pewarna untuk kertas, menambahkan zat retensi, dan menambahkan filler.
  6. Dari stock preparation sebelum masuk ke headbox dibersihkan dulu dengan alat yang disebut cleaner. Dari cleaner stock masuk ke headbox. Headbox berfungsi untuk membentuk lembaran kertas diatas fourdinier table. Fourdinier berfungsi untuk membuang air yang berada dalam stock. Hasil yang keluar disebut dengan web (kertas basah), kadar padatnya sekitar 20 %.
  7. Press part berfungsi untuk membuang air dari web sehingga kadar padatnya mencapai 50 %. Hasilnya masuk ke bagaian pengering (dryer). Cara kerja press part ini adalah kertas masuk diantara dua roll yang berputar, satu roll bagian atas di beri tekanan sehingga air keluar dari web. Bagian ini dapat menghemat energi, karena kerja dryer tidak terlalu berat (air sudah dibuang 30 %).
  8. Dryer berfungsi untuk mengeringkan web sehingga kadar airnya mencapai 6 %. Hasilnya digulung di pop reel sehingga berbentuk gulungan kertas yang besar (paper roll). Paper roll ini yang dipotong - potong sesuai ukuran dan dikirim ke konsumen.



    Kesimpulan 

    Kayu banyak dimanfaatkan sebagai bahan kebutuhan sehari-hari. Selain dijadikan sebagai furniture dan tisu, kayu bisa dimanfaatkan menjadi kertas yang sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari. Jadi, dengan adanya pemanfaatan kayu ini kemungkinan besar limbah dari kayu berkurang dan pemanfaatan kayu ini juga bisa mendatangkan keuntungan ataupun penghasilan.